BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelanggaran Hak Cipta (Intellectual Property Copyright’s violation) Hak
Cipta pertama kali disahkan pada tahun 1981 oleh Mahkamah Agung Amerika
setelah kasus Diamond Vs Diehr bergulir. Pembajakan dan pelanggaran hak
cipta tampaknya telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Terkadang
masyarakat sendiri tidak menyadari, bahwa tindakan yang mereka lakukan
adalah suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Bahkan, kegiatan pelanggaran
hak cipta seperti tindakan legal yang setiap orang boleh melakukannya.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia
menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak
sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal,
seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam
hal penghormatan terhadap hak cipta.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Hak Cipta
Definisi tentang hak cipta dapat ditemui diberbagai literature, dan
salah satunya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta, dalam pasal 1 ayat 1 disebutkah bahwa hak cipta adalah hak
ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hak eklusif disini mengandung pengertian bahwa tidak ada
pihak lain yang boleh melakukan kegiatan pengumuman atau memperbanyak
karya cipta tanpa seizin pencipta, apalagi kegiatan tersebut bersifat
komersil.
Di dalam Undang-undang hak cipta ini juga disebutkan berbagai karya
yang dilindungi hak ciptanya. Karya tersebut merupakan karya yang
diciptakan atau dihasilkan dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan
sastra. Berikut ini berbagai karya yang dilindungi hak ciptanya oleh
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tentang Hak Cipta antara lain :
1. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis (alat peraga
yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau
musik dengan atau tanpa teks;
3. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
4. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
5. Arsitektur;
6. Peta;
7. Seni batik;
8. Fotografi;
9. Sinematografi;
10. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan
Dalam suatu karya cipta setidaknya melekat dua hak bagi pencipta atau
pengarang. Hak tersebut adalah hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
adalah yang dimiliki pencipta atau pengarang untuk menikmati keuntungan
ekonomi yang diperoleh dari setiap eksploitasi karya ciptaannya.
Sedangkan hak moral merupakan hak untuk menjaga integritas karya
ciptaannya dari setiap intervensi pihak lain yang dapat merusak
kreativitas pencipta atau pengarang.
Dari definisi tersebut, berarti segala bentuk usaha dengan memanfaatkan
hasil karya orang lain yang dapat mendatangkan keuntungan bagi sesorang
tanpa memperoleh izin dari pencipta karya tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pelanggaran hak cipta. Selain itu usaha untuk meniru
karya orang lain yang dapat merusak intergitas karya tersebut dapat juga
dikategorikan sebagai bentuk pelanggarah hak cipta.
2.2 Dasar Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku
bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan
pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta
terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b. bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian
internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak
Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam
sistem hukum nasionalnya;
c. bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi
telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi
Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan
masyarakat luas;
d. bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan
Undang-undang Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan
Undang-undang Hak Cipta yang baru menggantikan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb agaimana tersebut dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang-undang tentang Hak
Cipta.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal
33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3564).
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau
pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa
pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun
sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara
keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan
bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan
secara permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama
bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat
apa pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun
gkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak
eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya;
bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya
rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
10. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan,
mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra,
folklor, atau karya seni lainnya.
11. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama
kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman
suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun
perek aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang
berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran
dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem
elektromagnetik.
13. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau
Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan
tertentu.
15. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.
16. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal
49 aya t (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
(6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau
Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Studi Kasus
Di Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi sebuah buku,
padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh
pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila
kegiatan foto kopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak
cipta maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Lain lagi
dengan kegiatan penyewaan buku di taman bacaan, masyarakat dan
pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan penyewaan buku semacam
ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat ini bisnis
taman bacaan saat ini tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia,
termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan mudah ditemukan taman
bacaan yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan kepada
masyarakat yang membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh
kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh
masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka
lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh
kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil
karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril
maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain
yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta
dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah
mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir
karya orang lain.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia
menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak
sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal,
seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam
hal penghormatan terhadap hak cipta. Contoh konkrinya adalah
perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan akan pelanggaran hak cipta
apabila tidak paham mengenai konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi,
Digitalisasi koleksi dan layanan foto kopi merupakan topik-topik yang
bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain rentan dengan pelanggaran
hak cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai media sosialisasi
hak cipta sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta di
Tanah Air.
Perpustakaan menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya yang
dilindungi hak ciptanya. Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta,
foto, tugas akhir, gambar adalah sebagai format koleksi perpustakaan
yang didalamnya melekat hak cipta. Dengan demikian maka perpustakaan
sebenarnya sangat erat hubungannya dengan hak cipta. Bagaimana, tidak di
dalam berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat hak cipta
yang perlu dihormati dan dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak
berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas dalam pelayanan
perpustakaan justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek pelanggaran
hak cipta.
Untuk itu dalam melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan,
maka perpustakaan perlu berhati-hati agar layanan yang diberikannya
kepada masyarakat bukan merupakan salah satu bentuk praktek pelanggaran
hak cipta. Dan idealnya perpustakaan dapat dijadikan sebagai teladan
dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi tentang hak cipta.
Layanan foto kopi, digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya
tulis merupakan isu serta layanan perpustakaan yang terkait dengan hak
cipta. Perpustakaan perlu memberikan pembatasan yang jelas mengenai
layanan foto kopi sehingga layanan ini tidak dikategorikan sebagai
bentuk pelanggaran hak cipta. Dalam kegiatan digitalisasi koleksi,
perpustakaan juga perlu berhati-hati agar kegiatan yang dilakukan tidak
melanggar hak cipta pengarang. Selain itu perpustakaan juga perlu
menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi jitu dan bukan
dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat diakses oleh
pengguna perpustakaan.
Foto kopi di perpustakaan
Praktek Foto kopi dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hak
cipta. Hal ini disebabkan karena foto kopi berarti memperbanyak suatu
karya tanpa izin dari pengarang dan menerima keuntungan ekonomi atas
jasa foto kopi yang diberikan
Kegiatan foto kopi di perpustakaan dapat dikategorikan dalam dua jenis,
yaitu foto kopi untuk pengadaan koleksi perpustakaan serta layanan foto
kopi yang disediakan bagi pengguna perpustakaan. Kegiatan foto kopi
untuk pengadaan koleksi perpustakaan bertujuan untuk memenuhi
kepentingan perpustakaan, sedangkan layanan foto kopi bagi pengguna
perpustakaan bertujuan untuk memudahkan pengguna perpustakaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sering dijumpai koleksi perpustakaan yang
merupakan hasil foto kopi. Padahal kegiatan foto kopi ini merupakan
suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan oleh masalah
klasik yang selalu dihadapi perpustakaan yaitu keterbatasan dana.
Perpustakaan idealnya mampu menjadi institusi pelopor penegakan hak
cipta. Kalaupun suatu koleksi perpustakaan terpaksa difoto kopi itu
didasarkan pada alasan bahwa buku tersebut tidak ada d ipasaran dan
tidak akan dicetak lagi oleh penerbit atau buku tersebut merupakan buku
asing. Buku-buku asing harganya sangat mahal sehingga dalam kegiatan
pengadaan perpustakaan cukup membeli satu eksemplar buku asing tersebut
kemudia jumlahnya diperbanyak dengan di foto kopi.
Untuk kegiatan layanan foto kopi bagi pengguna perpustakaan, sebagai
bentuk penghormatan terhadap hak cipta maka apabila pengguna ingin
memfoto kopi sebuah buku pengguna tersebut disarankan untuk mencari buku
yang dibutuhkan di toko buku. Apabila buku yang dibutuhkan tidak ada di
toko buku baru buku tersebut diizinkan untuk difoto kopi dengan segala
resiko menjadi tanggung jawab pengguna perpustakaan tadi.
Dengan berbagai usaha diatas, maka perpustakaan telah berpartisipasi
dalam penegakan hak cipta. Jangan sampai karena alasan mudahnya
masyarakat memfoto kopi buku menyebabkan para pengarang enggan menulis.
Hal ini tentu akan berdampak terhadap produktivitas penerbitan buku-buku
berkualitas di perpustakaan serta menghambat usaha pencerdasan bangsa.
Usaha ini memang belum banyak disadari oleh perpustakaan dan
perpustakaan dimana kita bekerja dapat memulainya sebagai bentuk
penghormatan kepada hak cipta.
Minimalisasi plagiasi
Praktek plagiasi di Indonesia untuk memperoleh gelar mulai dari sarjana
sampai professor pernah terjadi. Hal ini terjadi menunjukkan sikap
masyarakat yang kurang menghargai karya orang lain. Untuk meminimalkan
terjadinya praktek plagiasi, berbagai perpustakaan memiliki strategi
tersendiri. Ada perpustakaan yang melakukan proteksi berlebih terhadap
tugas akhir sivitas akademiknya sehingga tidak mengizinkan pengguna
mengakses ruangan tersebut. koleksi tugas akhir diberlakukan layaknya
benda pusaka yang tidak boleh disentuh, padahal tugas akhir merupakan
karya ilmiah yang akan bermanfaat apabila banyak orang yang dapat
mengaksesnya atau dengan katalain eksistensi koleksi tersebut tidak
percuma. Ada juga perpustakaan yang memberikan izin kepada pengguna
untuk mengakses koleksi tugas akhir dan bahkan memfoto kopi koleksi
tugas akhir tersebut.
Semua perpustakaan memiliki kebijakan tersendiri dengan pertimbingan
tertentu dan dalam kasus ini tidak ada yang benar atau salah. Akan
tetapi kebijakan apapun yang diterapkan setidaknya mengedepankan azas
manfaat dari keberadaan suatu koleksi. Perpustakaan tidak perlu takut
koleksi yang dimiliki akan dijiplak apabila memiliki sistem yang mampu
mentedeksi kegiatan plagiasi sejak dini. Caranya dengan memiliki sistem
temu kembali informasi yang memungkinkan mengetahui isi keseluruhan dari
tugas akhir, laporan penelitian atau koleksi perpustakaan lainnya.
Dengan katalain katalog yang dimiliki perpustakaan dilengkapi dengan
abstrak. Kemudian katalog tersebut publikasikan melalui internet
(katalog online) yang memungkinkan setiap orang mengakses katalog
tersebut tanpa dihalangi oleh waktu dan tempat. Apabila setiap orang
dapat mengakses katalog yang memungkinkan masyarakat mengetahui isi
suatu tugas akhir atau karya ilmiah lainnya, maka ini merupakan suatu
bentuk control sosial. Kontrol sosial ini akan memaksa orang berpikir
dua kali untuk melakukan plagiasi karena dengan karena dari katalog
online tersebut dapat dengan mudah diketahui suatu karya hasil plagiasi
atau bukan.
Selain itu perpustakaan juga dapat menyisipkan materi teknik penulisan
dan hak cipta dalam kegiatan pendidikan pemakai yang dilaksanakan
perpustakaan. Terkadang mahasiswa tidak mengetahui bahwa karya
tulisannya termasuk kedalam kategori karya hasil plagiat karena tidak
mengetahui bagaimana teknik penulisan karya ilmiah yang benar, misalnya
dengan mencantumkan referensi dari setiap kutipan yang digunakan dalam
karya ilmiah yang disusunnya. Perpustakaan juga dapat menyelipkan materi
mengenai hak cipta dalam kegiatan pendidikan pemakai sehingga semakin
memotivasi penggun perpustakaan untuk sadar hak cipta.
REFERENSI :
http://chobish.wordpress.com/2011/03/19/perpustakaan-dan-pelanggaran-hak-cipta/
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002